Masa libur akhir tahun dipangkas oleh Presiden Republik Indonesia yaitu Joko Widodo (Jokowi), ditakutkan akan menjadi ajang penyebaran virus yang menular dengan skala besar-besaran. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan sejumlah pakar kesehatan meminta, untuk para pemerintah meniadakan libur panjang akhir tahun 2020. Minggu (22/11) kemarin mendata adanya kasus positif Virus COVID-19 bertambah menjadi 4.360 orang hingga totalnya menjadi 497.668 orang.
Ibu Kota mencapai rekor tertinggi dengan penambahan kasus harian sebanyak 1.579, lagi-lagi menaik saat akhir pekan dan long weekend. “Keputusan libur panjang, walaupun ditentukan pemerintah, namun prinsipnya sangat bergantung pada kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan 3M, terutama pada masa-masa liburan,” tegasnya seperti dikutip di situs covid19.go.id, Minggu (22/11/2020). Hal tersebut sudah disampaikan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy melalui channel Youtube Sekretariat Presiden, Senin (23/11).
“Yang berkaitan dengan masalah libur cuti bersama akhir tahun, termasuk libur pengganti cuti bersama hari raya Idul Fitri, Bapak Presiden memberikan arahan supaya ada pengurangan,” kata Muhadjir. Padahal sebagian orang menginginkan libur untuk menghentikan aktivitas rutinitas yang mengancam dirinya keluar rumah terus menerus. Bagaimana menurut anda untuk keputusan libur yang akan ditiadakan atau tetap libur? Setelah adanya permintaan Presiden RI untuk memangkas hari libur akhir tahun ini, Pakar epidemiologi pun langsung memberikan beberapa masukan agara kasus Covid tidak akan meningkat saat libur panjang di akhir tahun 2020.
Libur Akhir Tahun Dipangkas, Pakar Langsung Sarankan Terkait Penularan COVID
Pakar Epidemiologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Riris Andono menjelaskan kaitan antara libur akhir tahun dipangkas dengan penularan virus Covid-19. Libur panjang yang tak berpengaruh dengan adanya peningkatan Covid-19 jika masyarakat tetap berada di rumah melaksanakan protokol kesehatan saat bepergian. “Sebenarnya bukan liburnya, yang penting itu kan social distancing-nya. Kalau kemudian problem-nya kan begini, libur itu diidentikkan dengan boleh pergi ke mana-mana. Padahal kan nggak, tapi libur kan libur bekerja bukan kemudian libur itu diterjemahkan kemudian boleh untuk pergi ke mana-mana, atau kemudian boleh berkumpul di mana-mana. Problem-nya kan di situ,” kata Riris kepada wartawan, Senin (23/11/2020).
Khawatirnya untuk masyarakat yang tidak mentaati protokol kesehatan dan merencanakan bepergian seenaknya. Per 22 November, rata-rata kasus aktif Covid-19 di Republik Indonesia mencapai 12,78%. “Jadi isunya yang menyebabkan libur panjang itu menjadi libur panjang itu menjadi sumber penularan karena ada persepsi bahwa etika libur kemudian status social distancing itu tidak berlaku lagi. Problem-nya di situ, libur lebaran, libur Idul Adha, libur kemerdekaan itu kemudian diterjemahkan waktunya untuk sama seperti liburan ketika belum ada COVID. ” katanya.
Pakar menyarankan untuk libur atau tidak libur tetap menjaga ketat protokol kesehatan dan bila perlu tidak mendatangi wisata atau tempat kerumunan. Tidak hanya itu riris pun menyinggung kerumunan massa Habib Rizieq Shihab dari pada libur panjang “Toh hanya butuh dua tiga hari kemudian untuk peningkatan penularan. Atau kemudian, nggak usah libur panjanglah, kalau kemudian ada kerumunan seperti kemarin kedatangan Rizieq Shihab dan kerumunan berikutnya. Kan klasternya, jumlahnya semakin banyak. Belum kemudian ketika mereka menolak untuk di-tracing itu akan menular ke generasi berikutnya yang kontak dengan mereka. Nah hal semacam itu yang meningkatkan penularan, bukan masa libur atau tidaknya,” katanya. Arahan kasus pun terkait libur panjang akhir tahun 2020 buka ditiadakan naum dikurangi atau dipangkas saja.