Kasus infeksi virus corona terus meluas di berbagai negara di seluruh dunia. Berdasarkan data Worldometers, Minggu (11/10/2020) malam, jumlah kasus positif Covid-19 di dunia mencapai 37.533.096. Dari jumlah tersebut, tercatat ada sebanyak 28.159.072 orang telah sembuh dari virus corona dan 1.078.444 orang meninggal dunia. Saat ini sejumlah penelitian terkait SARS-CoV-2 yang pertama kali teridentifikasi di Wuhan, China, tersebut terus dilakukan oleh para ahli. Ada beragam hasil penelitian atau pada studi terbaru terkait virus corona. Berikut lima di antaranya seperti di bawah ini.
Berbagai Studi Terbaru Mengenai Virus Corona
1. Neurologis
Gejala neurologis yang berhubungan dengan saraf, dikatakan sangat umum ditemukan pada kasus-kasus pasien Covid-19 serius yang dirawat di rumah sakit. Jurnal Annals of Clinical and Translational Neurology menjelaskan bahwasanya, gejala yang ditemukan beragam, dari kesulitan fokus, konsentrasi, memori jangka pendek, hingga kesulitan menjalani multitasking. Selain itu, penelitian ini juga menemukan pasien virus corona dapat terus mengalami gejala-gejala tersebut setelah pulih dari penyakit.
2. Bertahan 9 jam pada kulit manusia
Dikabarkan Live Science, sebuah studi baru yang dijelaskan oleh para peneliti di Jepang menunjukkan bahwasanya virus corona dapat bertahan di kulit manusia lebih lama dibandingkan virus flu. Virus corona dapat hidup pada sampel kulit mati manusia selama sekitar sembilan jam. Sementara itu, strain virus influenza A (IAV) akan tetap hidup pada kulit manusia selama sekitar dua jam. Akan tetapi juga, ditegaskan kedua virus pada kulit ini bisa dengan cepat dinonaktifkan dengan pembersih tangan atau hand sanitizer. Sehingga, penting untuk rajin mencuci tangan atau bisa menggunakan pembersih agar dapat mencegah penyebaran Covid-19.
3. Anosmia
Anosmia atau hilangnya penciuman menjadi salah satu gejala yang banyak ditemukan pada pasien Covid-19. Awal virus corona muncul, orang yang terinfeksi mengalami sejumlah gejala seperti sesak napas, menggigil, demam, nyeri otot, dan sakit tenggorokan. Namun, hilangnya rasa atau bau menjadi hal yang tetap harus diwaspadai oleh kita. Olfactory dysfunction (OD) atau disfungsi olfaktorius, yang didefinisikan sebagai kemampuan mencium, akan berkurang atau terdistorsi selama mengendus atau saat makan. Kondisi ini memang sering dilaporkan dalam sebuah kasus infeksi virus corona ringan, bahkan pada asimtomatik atau tanpa gejala sekalipun. Laporan OD terkait virus corona juga akan menggambarkan gangguan pada penciuman yang muncul secara tiba-tiba, yang mungkin dengan atau tidak disertai oleh gejala yang lain. Gangguan penciuman lebih sering ditemukan pada pasien muda dan juga pada pasien wanita.
4. Demam berdarah munculkan kekebalan terhadap corona
Studi yang menganalisis pandemi virus corona di Brasil menemukan hubungan antara penyebaran virus dan wabah demam berdarah di masa lalu. Penelitian menunjukkan, paparan penyakit yang ditularkan nyamuk bisa memberikan kekebalan tubuh terhadap virus Covid-19. Reuters, 21 September 2020, menuliskan penelitian yang dipimpin Miguel Nicolelis, profesor Duke University membandingkan distribusi geografis kasus virus corona dengan penyebaran demam berdarah pada tahun 2019 dan 2020.
Sebutkan, tempat-tempat dengan tingkat infeksi virus corona yang rendah dan pertumbuhan kasus yang cukup lambat, merupakan suatu lokasi-lokasi yang mengalami wabah demam berdarah hebat pada tahun ini dan tahun yang lalu. Hal tersebut bisa untuk menyoroti korelasi yang signifikan antara insiden, kematian, dan tingkat pertumbuhan Covid-19 yang lebih rendah pada populasi di Brasil, di mana tingkat antibodi terhadap demam berdarah lebih tinggi.
Hasil ini begitu sangat menarik, ketika sebuah penelitian yang sebelumnya menunjukkan orang dengan antibodi demam berdarah dalam darahnya dapat memberi tes false positive atau positif palsu untuk antibodi Covid-19, bahkan jika mereka tidak pernah terinfeksi virus corona. Sementara penelitian dari Duke University, University of Sao Paolo, Federal University of Paraiba, dan Oswaldo Cruz Foundation menemukan semakin tinggi kasus DBD di masa lalu di lokasi geografis tertentu, semakin rendah jumlah kasus infeksi Covid-19.
5. Efektivitas remdesivir
Seperti diketahui, obat khusus infeksi virus corona belum sempat ditemukan. Akan tetapi, dalam sebuah penelitian akan menunjukkan beberapa obat menunjukkan perkembangan yang baik dalam membantu untuk melawan virus corona, termasuk remdesivir. Remdesivir menjadi salah satu obat pertama yang telah berhasil mendapatkan perizinan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk digunakan pada sebuah pasien Covid-19. Rem Sivir buatan Gilead Sciences bisa membantu dalam menghambat replikasi virus baru dengan memasukkannya ke dalam gen virus yang baru. Awalnya, obat ini akan digunakan sebagai antivirus untuk penyakit ebola serta hepatitis C. Publikasi di New England Journal of Medicine menuliskan, para peneliti memastikan bagaimana manfaat remdesivir untuk mengobati orang yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19.