Sejak Senin, (5/10/2020), rupanya seluruh masyarakat Indonesia dan social media tengah disibukkan dengan konflik atas pengesahan RUU Omnibus Law yang mencakup Ketenagakerjaan dan Perpajakan di tanah air. Banyaknya sorotan dari berbagai pihak, menjadikan Indonesia semakin mengalami konflik antar wakil rakyat dengan rakyat terhadap daftar UU kontroversial. Pengesahan RUU Omnibus Law pun telah membuat para pekerja bersifat bebas dan lebih memihak perusahaan yang mengatasnamakan investasi.Â
Bahkan, sejak Senin pun media sosial tengah trending atas kekecewaan masyarakat terhadap keputusan yang dilakukan oleh DPR tanpa mempertimbangkan kembali kesejahteraan masyarakat Indonesia terhadap pekerja nya. Di tengah kritikan antar pekerja dengan DPR dan sorotan dari berbagai pihak, rupanya DPR telah mengesahkan sebuah RUU Omnibus Law dibidang Ketenagakerjaan atau Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna yang telah dilakukan Senin, (5/10/2020).Â
Dari Sembilan fraksi yang telah dilakukan oleh DPR RI, hanya terdapat dua fraksi saja yang menolak adanya pengesahan tersebut, ialah Fraksi PKS dan Partai Demokrat. Diantara kedua deretan poin yang kontroversial, adalah penghapusan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) yang kemudian diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Dan penetapan tersebut telah menjadikan upah pekerja menjadi lebih rendah dan dianggap memberikan beban yang sangat besar bagi para pekerja di Indonesia.Â
Selain itu pula, poin-poin lainnya yang telah mendapatkan banyak sorotan di tanah air, adalah para pekerja yang kini telah berpotensi menjadi pekerja kontrak seumur hidup dan bebas atas aturan PHK sepihak oleh perusahaan, serta jam istirahat yang lebih sedikit. Pengesahan Omnibus Law atas UU Cipta Kerja ini pun telah menambah sebuah daftar UU yang Kontroversial pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia. Berikut adalah tiga UU kontroversial yang telah disahkan oleh pemerintahan Jokowi:Â
Daftar UU Kontroversial Antar Masyarakat Dan Wakil Rakyat:
1. UU KPK
Kontroversi pertama mengenai pengesahan aturan UU, dimulai dari beberapa minggu sebelum presiden Jokowi dilantik pada periode keduanya, ialah ketika revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Kompas.com, pengesahan UU KPK ini dilangsungkan pada 17 September 2019. Tidak ada satupun partai yang duduk di kursi wakil rakay untuk menolak pengesahan revisi terhadap UU KPK ini.Â
Pengesahan mengenai revisi UU KPK pun telah memancing sebuah aksi protes dan telah menyebabkan demo besar-besaran di sejumlah daerah Indonesia. Mereka telah menilai secara langsung bahwasanya revisi terhadap UU KPK ini telah berpotensi melemahkan KPK yang selama ini menjadi garda terdepan untuk memberantas para koruptor di Indonesia. Sejumlah poin yang telah menjadi kontroversial terhadap revisi UU KPK ini, sebagai berikut:Â
- Pertama, Kedudukan terhadap KPK berada pada sebuah cabang eksekutif. Padahal, status KPK sebelumnya telah menjadi Lembaga Ad hoc independen. Perubahan mengenai kedudukan menjadi Lembaga pemerintahan itu berdampak secara langsung pada sebuah status kepegawaian KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
- Kedua, Pembentukan Dewan Pengawasan KPK yang tertuang secara langsung mengenai tujuh pasal yang dikhususkan, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan sebuah Pasal 37G. Selain mengawal sebuah tugas dan wewenang mengenai KPK, Dewan Pengawas pun berwenang kembali terhadap beberapa hal.
2. UU Minerba
Selain revisi mengenai UU KPK, yang menuai banyak kontroversi antar masyarakat dengan wakil rakyat semasa pemerintahan Jokowi, adalah regulasi terkait pertambanan mineral dan batubara (minerba). RUU Minerba telah disahkan menjadi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba pada 13 Mei 2020. Hanya Partai Demokrat saja yang telah menjadi satu-satunya fraksi mengenai penolakan terhadap Minerba. Layaknya revisi lain, sejumlah poin mengenai UU Minerba ini dinilai banyak menguntungkan pihak tertentu dan telah membebani masyarakat.Â
Salah satu yang menjadi sorotan adalah sebuah Pasal 169 A terkait sebuah perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau sebuah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa adanya pelelangan sama sekali. Melalui sebuah pasal dari penetapan tersebut, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan sebanyak dua kali sebuah perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
3. UU MK
Pada 1 September 2020, rupanya DPR pun telah mengesahkan adanya RUU Mahkamah Konstitusi menjadi UU dan disetujui oleh semua fraksi melalui sebuah sidang. Dikutip secara langsung oleh Kompas.com, 14 April 2020, beberapa poin rupanya diubah dalam bentuk UU MK adalah masa jabatan terhadap hakim MK secara langsung, yang sebelumnya berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya sebelum dihapuskan atas masa jabatan tersebut. Aturan dan penetapan yang telah disahkan, diganti melalui sebuah Pasal 23 yang menyatakan hakim MK dapat di berhentikan secara hormat ketika hakim tersebut berusia 70 tahun.Â
Selain itu pula, Pasal 15 pun telah mengatur beberapa syarat agar menjadi hakim MK, diantaranya adalah usia minimum hakim MK hanya berpaut 60 tahun saja. Padahal, sebuah penetapan UU MK pada sebelum masa periode Jokowi, menetapkan bahwasanya usia minimum terhadap hakim MK adalah 47 tahun dengan usia maksimal mencapai 65 tahun. Beragam daftar UU kontroversial menjadikan keuntungan beberapa pihak, namun mengorbankan banyak penetapan yang harus diubah tanpa tujuan yang jelas.