Pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2010, Komnas Perempuan melaporkan bahwa saat ini banyak sekali bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan sehingga hal tersebut tidak dapat untuk diatur dalam undang-undang. Komnas Perempuan merasa perlu ada Undang-Undang resmi yang dapat untuk memberikan suatu perlindungan untuk para korban dari kejadian kekerasan seksual, juga telah diidentifikasi detail berbagai jenis kekerasan seksual sesuatu yang tidak ada dalam perundang-undangan di Indonesia. Maka dari itulah sangat penting untuk menindaklanjuti RUU PKS perlu disahkan dalam waktu dekat ini.
“Komnas Perempuan pun saat ini sudah bisa melihat bagaimana minimnya proses hukum pada kasus kekerasan seksual yang sebelumnya pernah terjadi, menunjukkan aspek substansi hukum yang ada tidak mengenal sejumlah tindak kekerasan seksual, dan hanya mencakup definisi terbatas, aturan pembuktian yang membebani korban, budaya menyalahkan kepada para korban, serta juga ada terbatasnya daya dukung pada pemulihan korban yang menjadi kendala utama untuk seluruh korbannya,” ujar Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan yang kami lansir dari Tirto.id.
Pada tahun 2012 yang lalu, Komnas Perempuan resmi menggagas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang populer dikenal dengan sebutan RUU PKS. Sejak itu, dimulailah jalan panjang nan terjal untuk membuat RUU tersebut sehingga saat ini ingin bisa menjadi UU. Namun kita juga perlu tahun untuk pengusulan pada RUU PKS perlu disahkan, ternyata juga ada beberapa kendala yang perlu untuk kita ketahui dan tidak semulus yang kita bayangkan saat ini.
Sepanjang perjalanan tahun 2010-2014, Komnas Perempuan aktif untuk melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tujuannya juga cukup jelas dan secara perlahan hal ini juga akan membangun bagaimana tingkat kesadaran publik tentang berbagai macam aneka jenis kekerasan seksual yang mungkin saja untuk selama ini tidak akan dianggap sebagai salah satu kekerasan seksual. Pada tahun 2014 yang lalu juga, Komnas Perempuan ini sudah mulai untuk membangun berbagai macam rumusan RUU PKS.
Mereka pun juga ikut serta dalam mengajak berbagai macam pihak untuk berkontribusi dalam membangun draft RUU dan draft Naskah Akademiknya, mulai dari berbagai Kementerian, Kepolisian, juga para akademisi. Selain Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan (FPL) himpunan dari 125 organisasi untuk penyedia layanan untuk para korban kekerasan seksual di 32 provinsi juga ikut aktif melakukan konsultasi untuk menyempurnakan draft RUU PKS. Mereka pun juga akan ikut aktif dalam melibatkan pemerhati isu disabilitas, juga pemulihan korban, pemerhati isu hak asasi manusia, juga rehabilitasi untuk para pelaku.
Pada tahun 2016, draft RUU ini pun telah masuk ke DPR. Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas tahun 2016. RUU PKS ini juga sudah didukung oleh Presiden Republik Indonesia yakni Joko Widodo. Namun pada tahun 2017, terjadi pada perpindahan komisi yang membahas RUU PKS ini. Dari yang awalnya akan dibahas pada Pansus Komisi III (bidang hukum dan keamanan), menjadi dipegang oleh Komisi VIII (agama dan sosial). Dari sini, prosesnya pun juga akan menjadi lebih lambat.
Hingga sekarang, belum ada titik terang RUU ini. Pada Juni 2020, Komisi VIII mengusulkan untuk menarik RUU PKS dari Prolegnas prioritas. Alasannya: pembahasannya agak sulit. “Kesulitan pembahasan itu, menurut kami dikarenakan masih banyak anggota legislatif di DPR yang belum memahami substansi RUU-PKS,” menurut dari Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad. Fuad menambahkan, penundaan yang berulang RUU PKS sejak beberapa tahun yang lalu bisa menimbulkan dugaan bahwa pada sebagian besar anggota DPR RI belum pernah bisa untuk bisa memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual.
Oleh sebab itulah, bawahnya Komnas Perempuan mendorong supaya dari DPR RI melaksanakan komitmennya untuk dengan sungguh-sungguh membahas RUU PKS, demi untuk kepentingan terbaik korban pada kekerasan seksual, khususnya untuk para perempuan.“Komnas Perempuan berharap untuk para DPR dapat untuk segera memastikan RUU PKS perlu disahkan untuk bisa menjadi Program Prioritas Legislasi Nasional dan menjadi RUU yang pertama dibahas di tahun 2021”, imbuh Fuad.