infogitu.com – RKUHP hina pejabat hingga saat ini masih terus bergulir layaknya bola panas di DPR dan pemerintahan. Rencana awal untuk peresmian pun akan jatuh pada bulan Juli yang akan datang. Tanpa disadari, kalau pasal ini memiliki nilai ancaman bagi siapapun. Aturan ini sama seperti yang tertarik di dalam draf Rancangan KUHP yang telah didapatkan wartawan dari Kemenkumham pada pasal 353 ayat :
Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak di kategori II seperti yang dilansir oleh sumber berita detikcom. Jadi cocok sekali kalau ketentuannya diarahkan kepada siapapun yang melakukan kritikan sesuai dengan demokrasi di negara ini secara tertulis atau lisan. Penghinaan atau tidaknya akan ditentukan sang pejabat yang merasa hal itu sebuah hinaan.
RKUHP ini ternyata berlaku untuk memenjarakan pelaku hingga 18 bulan dan denda sekitar 10 juta rupiah. Bahkan awalnya itu pemerintah tegas dalam merencanakan untuk mengesahkan Rancangan KUHP itu di bulan depan. Untuk pasal 240 di draf RKUHP menyebutkan siapapun yang melakukan penghinaan kepada pemerintah hingga bisa akibatkan kerusuhan di dalam sebuah kemasyarakatan maka akan dipidana penjara paling lamanya tiga tahun.
Mantan Komisi Yudisial Minta Hapus RKUHP Hina Pejabat Republik Indonesia
Diketahui kalau draf rancangan undang-undang soal hukum pidana, membuat pasal penghinaan kepada Presiden dan wakilnya. Disana ada 3 pasal untuk mengatur. Penjelasan maksud dari pasal itu supaya adanya rasa untuk bisa dihormati warga. Apalagi kalau penghinaan melalui media sosial dan sebar luaskan secara umum, maka pasal selanjutnya di draf pasal 241 menyebutkan akan dinaikkan masa hukumannya menjadi 4 tahun dengan denda paling sedikit 10 juta.
Kebayang tidak sih, kritikan warga saja di dunia media sosial sudah banyak yang dipenjarakan, bagaimana sudah menerapkan RKUHP satu ini? kalau menurut eks Komisi Yudisial, Taufiqurrahman. Banyak Mudharatnya jika pasalnya diresmikan bahkan sudah bertentangan juga dengan MK. Bahkan menurut Eks Komisi Yudisial yakni Taufiqurrahman kalau pejabat sudah mendapat kompensasi, gaji, fasilitas sehingga kalau kritikan halus maupun kasar bahkan menyerempet ke penghinaan itu adalah sebuah kewajaran sehingga tidak perlu yang namanya minta untuk dihormati.
Pasal tersebut bisa menjadi sebuah tembok untuk setiap hak kebangsaan warga. Potensi pasalnya juga sudah menjadi subversif seperti yang dikatakan Direktur Institute For Criminal Justice Reform. “Pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern,” kata Eras seperti yang dilansir oleh sumber berita tirto.com. Perlu diketahui pemerintahan seperti DPR sedang menggencar untuk melakukan pengesahan RKUHP satu ini lantaran pernah ditolak besar-besaran oleh masyarakat yang menunjukkan aksi unjuk rasa besar-besaran.
Pembahasan seperti ini sebelumnya sudah menjadi pembahasan dari tahun 2021 kemarin, tetapi sampai sekarang dikabarkan kalau RKUHP hina pejabat deretan DPR, Jaksa, Polisi, Walikota dan lain-lain belum juga resmi. Kalau pembahasan di tahun 2021, MK ambil contoh dari aspek historis dalam menanggapi akan adanya pasal tersebut. MK telah berikan penjelasan yang asalnya dari Guru Besar Hukum di UI yang saat itu pernah menjadi saksi yakni Mardjono Reksodiputro.
Telah diketahui KUHP merupakan adopsi dari Wetboek Van Strafrecht alias KUHP Belanda. Mereka adopsi pasal 111 WVS untuk larangan menyerang kehormatan raja dan ray di Belanda dengan delik. Tetapi martabat raja tidak membenarkan raja jadi pengadu, apalagi martabat mereka sangat dekat dengan kepentingan negara yang harus diberi perlindungan secara khusus menggunakan delik biasa. Indonesia merdeka tidak memiliki masalah yang serupa, sehingga pasal penghinaan presiden dan pemerintahan seharusnya tidak diperlukan.
Tidak ditemukan juga rujukan alasan untuk kedepannya kata Raja diganti Presiden, Wakil Presiden dan Pejabat lainnya. Jika tetap disahkan hal ini bisa menjadi sebuah hambatan proses penyampaian aspirasi, kritikan melalui unjuk rasa dari masyarakat. Potensi pasalnya akan menjadi rintangan dengan dugaan pelanggaran kepada pejabat, kemudian MK berpesan sebelumnya untuk para pembuat undang-undang kalau pasalnya tidak bisa masuk ke dalam revisi karena memang bertentangan.
Discussion about this post