Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia menunjukkan persepsi publik terhadap tingkat demokratisasi di Indonesia semakin menurun. Sebanyak 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis hingga telah terbukti bahwa pudarnya kualitas demokrasi ini dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis. Angka persepsi kurang demokratis lebih tinggi dibandingkan yang lebih demokratis adalah “alarm” yang perlu diantisipasi oleh elite politik, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi saat memaparkan hasil survei, Minggu (25/10/2020) lalu.
Pertanyaan itu kemudian akan dijabarkan juga dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan turunan. Hasilnya selaras dengan pertanyaan besar. Sebanyak hingga 69,6 persen responden menyatakan “setuju atau sangat setuju” bahwa sekarang ini “warga makin takut menyatakan pendapat.” Sebanyak 73,8 persen responden juga “setuju atau sangat setuju” bahwa “sekarang ini warga makin sulit berdemonstrasi atau melakukan sebuah protes terhadap suatu hal.” Mayoritas, yakni 64,9 persen responden, juga “setuju atau sangat setuju” bahwa “sekarang ini aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda opsi dalam politiknya dengan penguasa.” Survei melibatkan 1.200 responden yang tersebar dari seluruh provinsi di Indonesia.
Populasi untuk laki-laki sendiri mencapai hingga 50,3 persen dan perempuan 49,7 persen. Usia responden mulai dari 21 hingga 55 tahun. Survei yang telah dilakukan pada 24-30 September 2020 ini sejalan dengan apa yang telah terjadi pada beberapa waktu terakhir. Saat melakukan sebuah demonstrasi menolak adanya Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, polisi menyebut bahwasanya sebanyak 5.918 orang ditangkap dan mereka hanya 240 yang dinyatakan bersalah.
Mereka menambahkan bahwa pudarnya kualitas demokrasi ini yang mana pada saat menyatakan pendapat yang berseberangan dengan sebuah narasi pemerintah juga tak luput dari represi dengan tudingan ujaran kebencian dan hasutan dari berbagai macam pihak. Setidaknya ada sekitar tujuh admin media sosial yang ditangkap oleh pihak polisi dengan tuduhan untuk mengajak dan menghasut demonstran dalam penolakan UU Ciptaker beberapa waktu silam. Sementara sejumlah orang yang getol menyatakan adanya suatu penolakan terhadap UU Ciptaker yang juga akan mengalami peretasan media sosial, diantaranya adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Fajar Adi Nugroho bersama dengan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat.
Perkumpulan yang diadakan secara terang-terangan ini juga berseberangan dengan pemerintah seperti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) juga direpresi. Para pentolannya pun juga ditangkap oleh para polisi atas tuduhan yang menghasut. Daftar bertambah panjang apabila mereka memasukkan peristiwa lain dalam setahun terakhir, setidaknya sejak September 2019, pada saat demonstrasi terhadap sejumlah UU kontroversial merebak. Pada saat itu banyak aktivis yang ditangkap usai menyampaikan pendapat. Di antaranya adalah jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono; musisi sekaligus jurnalis Ananda Badudu; dan peneliti kebijakan publik Ravio Patra.
Burhanuddin menyimpulkan dalam salah survei terbaru lembaganya sebagai berikut: “Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyampaikan pendapat, semakin sulit warga untuk berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena serta arogan terhadap masyarakat Indonesia.” Bagi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, survei ini makin mempertebal sebuah hasil observasi yang akan dilakukan oleh sebagian lembaga-lembaga sipil seperti LP3ES, LBH, Kontras, hingga Amnesty: bahwa kebebasan dalam berpendapat di Indonesia memang tengah mengalami kemerosotan.
Catatan Amnesty menunjukkan merosotnya kualitas kebebasan dalam berekspresi mulai dari kebebasan berpendapat para warga, kebebasan media, dan juga kebebasan berpendapat dari sebagian pihak warga yang ingin beroposisi. Dari seluruh catatan itu, kata Usman, yang paling mengkhawatirkan adalah penggunaan aturan pidana dalam menyikapi ekspresi warga yang kritis terhadap pejabat maupun lembaga negara. Juga serangan siber terhadap mereka.
“Itu belum ditambah dengan gejala tumbuhnya pasukan pendukung pemerintah yang diduga menjadi bagian dari yang diregistrasikan oleh unsur-unsur konservatif dalam negara,” kata Usman kepada seorang reporter, Senin (26/10/2020). Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menyampaikan bahwasanya kualitas demokrasi di Indonesia juga tampak menurun selain karena banyak penangkapan oleh aparat, juga terlihat dalam serangan-serangan digital.
SAFEnet mencatat dalam hal peretasan terus meningkat sepanjang tahun ini. “Dari Januari sampai Oktober 2020 itu ada 60 serangan dan mayoritas melonjak pada saat bulan Oktober yang lalu, ada sekitar 16 kasus. Paling banyak yakni kasus pengambilalihan akun dan peretasan WhatsApp,” ujarnya, Senin. Ini semua telah dialami oleh seorang jurnalis, aktivis pembela HAM, dan lingkungan. “Mereka makin jadi sasaran untuk dikriminalisasi,”imbuhnya. Pemerintah Bantah Perwakilan pemerintah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian, menjelaskan bahwasanya selama ini pemerintah tidak akan pernah melakukan upaya untuk pembungkaman pendapat.