Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yaitu Maria Farida Indrati, menyebutkan bahwa ia baru saja mendengar sebuah istilah omnibus law dikarenakan sebuah permasalahan yang telah menuai kritik banyak masyarakat di Indonesia. Farida menyebutkan bahwasannya dalam rapat bersama yang dilakukan oleh Badan Legislasi DPR, yang dilakukan pada bulan Desember 2019 telah memberikannya pengetahuan tentang istilah poin RUU Omnibus Lawyang ingin disahkan secara langsung oleh DPR.
Pernyataan mantan dari Hakim Konstitusi ini pun telah mengungkapkan rasa penasarannya secara langsung. Dari mana (asal muasal) konsep ini berasal? Dan apakah yang harus dan diimbaskan ke masyarakat terutama para buruh di Indonesia? Selama puluhan tahun lamanya telah menekuni sebuah aturan terkait perundang-undangan yang ada di Indonesia, belum pernah sama sekali mendengar sebuah istilah dan konsep dari RUU Omnibus Law yang kini menjadi perhatian secara langsung oleh Maria.
Padahal, saat ini pemerintahan telah gencar dan telah meyakinkan kepada public atas RUU Omnibus Law yang disebut-sebut sebagai solusi terampuh terhadap pembangunan di Indonesia. Sudah ada dua judul mengenai RUU yang telah dikaitkan dengan Omnibus Law, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan. Langkah senyap yang dilakukan oleh DPR dan pemerintahan di Indonesia dalam memuluskan pengesahan RUU Omnibus Law, telah membuat banyak masyarakat muak terhadap poin nya. Tuaian kritik demi kritik yang dikeluhkan oleh publik serta ormas Indonesia pun tidak di gubris ataupun di dengar.
DPR mengesahkan sebuah RUU Cipta Kerja menjadi sebuah UU pada rapat paripurna berlangsung yang digelar secara langsung oleh seluruh anggota DPR pada hari senin, (5/10/2020). Regulasi poin yang menuai banyak sorotan masyarakat di Indonesia dinilai telah merugikan banyak pekerja dan telah membuat banyak rakyat gencar untuk mengkritik dalam demo berlangsung.
Poin RUU Omnibus Law
- Penghapusan Upah Minimum
Salah satu poin yang telah ditolak mentah-mentah oleh perserikatan buruh tanah air, adalah penghapusan upah minimum wilayah Kota/Kabupaten (UMK). Penghapusan mengenai UMK tersebut akan diubah menjadi upah minimum provinsi (UMP). Tentu saja pergantian terkait UMK tersebut lebih dinilai memberikan upah yang rendah oleh para pekerja, alhasil banyak nya kritikan yang dilangsungkan karena tidak menerima adanya penghapusan poin ini.
Padahal, dalam sebuah Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, telah menyebutkan bahwasanya tidak boleh ada pekerja yang akan mendapat upah kerja di bawah upah minimum. Baik UMP ataupun UMK yang ditetapkan oleh DPR, tentu saja gubernur tetap memperhatikan sebuah rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati di wilayah nya. Penetapan mengenai UMK dan UMP yang didasarkan terhadap perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH. Kian menuai kritikan, sayangnya DPR tidak mendengarkan keluh kesah rakyat dan menjadikan banyak orang semakin menganggap bahwa wakil rakyat bukanlah wakil rakyat yang sebenarnya.
- Jam Lembur Lebih Padat Dan Lama
Dalam sebuah draf yang ditetapkan pada RUU Omnibus Law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan bahwasanya waktu kerja lembur akan diubah, menjadi waktu lembur hanya dapat dilakukan paling banyak selama empat jam dalam sehari dan dalam jangka 18 jam perminggu nya.
Ketentuan mengenai jam lembur tersebut memang lah lebih lama dibandingkan sebuah penetapan UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwasanya kerja lembur dalam jangka waktu satu hari hanya memaksimalkan 3 jam dan 14 jam perminggu nya.
- Kontrak Seumur Hidup Dan Ketentuan PHK
Dalam sebuah RUU Cipta Kerja yang ditetapkan oleh DPR, terdapat salah satu poin Pasal 61, dimana poin tersebut menyebutkan untuk mengatur kembali perjanjian kerja yang akan berakhir pada saat pekerjaan telah selesai. Sementara sebuah Pasal 61 A, menambahkan kembali terkait ketentuan dan kewajiban bagi setiap pengusaha agar bisa memberikan kompensasi kepada semua pekerja yang memiliki hubungan kerjanya berakhir.
Dengan tetapan ini, RUU Cipta Kerja telah dinilai lebih merugikan dan membawa petaka bagi pekerja karena ketimpangan sebuah relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan perusahaan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat sebuah status kontrak pekerja menjadi abadi. Bahkan, pengusaha pun dinilai bisa memberikan ketentuan PHK pekerja dalam satu pihak tanpa waktu yang jelas.
- Pemotongan Waktu Istirahat Pekerja
Pada sebuah Pasal 79 ayat 2 poin b, mengatakan bahwasanya waktu istirahat mingguan adalah satu hari hanya untuk enam hari kerja dalam jangka satu minggu. Selain itu, dalam ayat 5 yang ditetapkan oleh RUU pun menghapus cuti panjang selama dua bulan per enam tahun nya. cuti panjang disebut akan kembali diatur oleh perjanjian kerja, peraturan milik perusahaan, atau perjanjian kerja bersama antar perusahaan dengan pekerja.
Hal tersebut pun telah jauh berbeda dari sebuah UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang telah menjelaskan secara detail dan rinci mengenai cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah melakukan kerja sama selama enam tahun diperusahaan yang sama. Poin RUU Omnibus Law ini pun dianggap telah menjadikan budak bagi pekerja tanah air dan lebih memihak pada perusahaan atas nama investasi asing.