Dilansir dari Kompas.Com, menyebutkan bahwasanya sejumlah buruh yang telah bergabung dengan Aliansi Buruh Banten (AB3) dan Aliansi Buruh Bekasi Melawan (BBM) tidak mendapatkan izin sama sekali dari kepolisian setempat untuk berunjuk rasa terhadap sebuah penolakan ketetapan dan pengesahan RUU Omnibus Law. Buruh melakukan unjuk rasa karena tidak menyetujui beberapa poin dan memilih untuk meluapkan penolakan UU Cipta Kerja.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai membawa petaka sekaligus memberikan kesengsaraan bagi banyak nya pekerja, menjadikan banyak pekerja dan buruh di Indonesia yang meluapkan amarahnya terhadap poin-poin yang merugikan masyarakat. Bahkan, buruh pun beranggapan bahwasanya penetapan RUU Cipta Kerja tersebut hanya menguntungkan pihak perusahaan tanpa memberikan toleransi yang besar bagi masyarakat Indonesia.
“Hari ini, teman-teman buruh (langsung) bergerak dari masing-masing titik menuju gedung DPR RI. Karena info yang (telah) diterima hari ini ada rapat paripurna pembahasan untuk ke tingkat dua terkait pengesahan RUU Omnibus Law”, kata Mubarok, Senin. “Jika pemerintah dan DPR RI tidak memaksakan adanya kehendak dengan melegalkan Omnibus Law di tengah pandemi, pasti buruh tidak akan memaksakan diri untuk memulai aksi pengawalan” lanjutnya. Mubarok juga mengatakan bahwa pelarangan tersebut dilakukan untuk membuat buruh semakin meradang, bahkan hingga rela tidur di jalan tanpa memikirkan diri sendiri.
Pergerakan yang dilakukan oleh aliansi tersebut pun telah dijaga ketat oleh pihak kepolisian RI guna menghindari adanya demo yang menuntut masyarakat ke tindak kriminal, sehingga aliansi pun tidak bisa bergerak sama sekali menuju ke Gedung parlemen untuk melakukan unjuk rasa. Sementara itu pula, sejumlah buruh lain yang telah tiba terlebih dahulu di Gedung DPR, langsung dibubarkan oleh pihak kepolisian. Mubarok mendapatkan informasi, bahwasanya Polisi RI akan langsung menindak tegas para buruh yang tidak pulang dan berujung untuk meninggalkan lokasi aksi secara langsung.
“Sampai di (Gedung) DPR RI, sejumlah buruh yang telah datang langsung diperintahkan untuk membubarkan diri nya dan pulang, dengan alasan terjadi pandemi dan melangsungkan PSBB”, ungkap Mubarok. “Bahkan, ada teman-teman yang (langsung) dipaksa pulang diantar dengan mobil tahanan polisi ke stasiun Palmerah”, lanjutnya. Menurut Mubarok, semestinya sejumlah Aliansi buruh yang terdiri dari BBM (Buruh Bekasi Melawan, AB3 (Aliansi Buruh Banten Bersatu), dan GBJ (Gerakan Buruh Jakarta), akan melakukan sebuah aksi penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja langsung ke Gedung DPR. Hal ini dilakukan agar para wakil rakyat mendengar secara langsung dengan keluh kesah rakyat.
Penolakan UU Cipta Kerja Yang Berujung Surat Telegram Para Kapolri
Pihak Polri RI pun telah menyebutkan, bahwasanya penerbitan surat melalui telegram untuk meredakan langsung aksi buruk untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih dalam sebuah koridor tugas pokok yang dimiliki oleh Institusi Kepolisian Indonesia. “Polri sesuai dengan tugas pokoknya, untuk melindungi, mengayomi, dan langsung melayani masyarakat, serta selaku penegak hukum Indonesia, tentunya memiliki kepentingan terhadap merebaknya sebuah informasi untuk demo besar-besaran yang dilangsungkan pada tanggal 6, 7, 8”, kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol), ialah Awi Setiyono di Gedung Bareskrim langsung, Jakarta Selatan, Senin (5/10/2020).
Awi pun telah menuturkan bahwasanya Polri memiliki peran yang penting sekaligus tanggung jawab nya untuk melakukan sebuah antisipasi agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Surat telegram yang bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tersebut telah ditandatangani secara langsung oleh As Ops Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis pada tanggal 2 Oktober 2020. Isinya tersebut memiliki sejumlah perintah sebagai antisipasi untuk aksi unjuk rasa yang dilakukan para buruh serta mogok kerja yang akan dilakukan pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan langsung terhadap Omnibus Law. Diantaranya, ialah perintah untuk melakukan deteksi dini, mencegah adanya aksi unjuk rasa guna memutuskan tali penyebaran terhadap virus Covid-19, patrol siber, hingga melakukan sebuah kontrak narasi. Pandemi Covid-19 dijadikan sebuah alasan gencar para Polri agar tidak memberikan izin secara langsung terhadap aksi unras atau unjuk rasa para buruh.
Kritik YLBHI
YLBHI atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pun telah mengkritik secara langsung terhadap hadirnya penerbitan surat yang dilangsungkan melalui media Telegram. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur pun sangat menyoroti adanya perintah yang digunakan tentang sebuah pelaksanaan fungsi intelijen dan deteksi dini untuk mencegah adanya unjuk rasa serta mogok kerja para buruh yang dapat menimbulkan sebuah aksi anarkis serta terjadinya konflik sosial.
“Polri tidak punya hak untuk mencegah (terjadinya) unjuk rasa”, ungkap Isnur melalui sebuah keterangan tertulis, Senin (5/10/2020). Berdasarkan sebuah Pasal 13 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, telah memberikan pernyataan bahwasanya tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Polri justru bertanggung jawab yang besar untuk memberi keamanan terhadap rakyat yang melakukan unjuk rasa. Penolakan UU Cipta Kerja ini pun berujung dengan putus asa dan buruh dipaksakan untuk menelan bulat-bulat keputusan yang telah ditetapkan oleh DPR RI.