Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa ada jumlah investor retail domestik semakin gencar untuk segera menguasai pasar saham Indonesia sepanjang tahun 2020 ini. Dari jumlah saham yang awalnya senilai Rp3.491 triliun, kepemilikan investor domestik per bulan November tahun 2020 ini mencapai hingga 50,44 persen, sedangkan sisa 49,56 persennya dimiliki oleh kalangan investor asing. Angka ini berkebalikan dengan investasi yang ada pada bulan November tahun 2019.
Waktu tersebut juga merupakan sebuah porsi dalam kepemilikan investor lokal di pasar saham Indonesia mencapai 49,36 persen, sedangkan para investor asing pun mulai untuk menguasai lebih besar yakni pada angka 50,64 persen. Sejalan dengan hal tersebut, BEI mencatat bahwasanya hal ini bisa menjadi sebuah penambahan untuk jumlah investor yang diukur dari single investor identification (SID) baru juga yang nantinya akan naik secara signifikan.
Dalam pasar modal saja ada kenaikan yang mencapai hingga sejumlah 488.088 SID maupun 93,4 persen yang mana dalam jumlah ini pun justru akan jauh lebih banyak dari pertumbuhan SID baru pada saham 2019 sebanyak 252.370 saja. Direktur Trimegah Hans Kwee memberikan sebuah pernyataan bahwasanya kehadiran dari para investor retail domestik ini memang cukup signifikan peningkatannya. Ia pun sebelumnya juga telah memberikan contoh dimana belum lama ini investor asing memilih untuk bisa menjual hingga Rp1,5 triliun kepemilikan sahamnya.
Akan tetapi disisi lain indeks saham atau IHSG masih sanggup menguat 5 poin. “Biasanya penjualan sebanyak itu indeks turun ke bawah. Jadi dominasi asing berkurang ditunjukkan lokalnya yang akan bertambah,” menurut Hans yang kami kutip dari Tirto.id Jumat (18/12/2020). Sebagian besar dari kalangan investor retail ini telah mengisi bagaimana kepemilikan saham yang ramai-ramai nantinya akan ditinggalkan oleh kalangan investor asing.
Umumnya jenis saham yang terlibat berkaitan dengan saham blue chip yang notabene emiten berkinerja terbaik di bursa, memiliki tingkat risiko rendah, sekaligus memiliki tingkat imbal hasil yang bagus. Menurut catatan Hans, pada umumnya saham blue chip yang dimaksud tersebut juga akan mengarah ke sektor perbankan di Indonesia. Walaupun seperti itu, secara keseluruhan hampir seluruh sektor mengalami penguatan per bulan November tahun 2020 dari posisi yang paling rendah masing-masing selama COVID-19.
Hanya saja penguatan mereka tidak sebesar saham perbankan. Keputusan dari kalangan para investor ritel domestik membeli sejumlah saham yang ditinggalkan asing tersebut juga memang bisa menghasilkan keuntungan (gain) signifikan. Ia sebelumnya juga telajh mencontohkan saham Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang pernah menyentuh titik 2.100-2.200 di bulan Mei dan kini sudah menyentuh kisaran 4.330 per Desember 2020. Investor retail domestik yang membeli di harga rendah dapat meraup keuntungan secara langsung yang mencapai hingga 96 persen per lembar sahamnya.
Saham Mandiri (BMRI) juga sama halnya seperti demikian. Dari kisaran 3.600-3.700 pada bulan Mei tahun 2020 ini telah menjadi 6.700 di bulan Desember 2020. Tingkat return-nya diperkirakan mencapai 83 persen jika telah berhasil untuk bisa membeli pada titik yang terendah. “Jadi kurang lebih naik 70-80 persen lebih. Memang mereka perbankan yang rata-rata memimpin penguatan,” ucap Hans yang kami lansir dari Tirto.id.
Perencana Keuangan sekaligus Founder Finansia Consulting Eko Endarto memberikan sebuah pernyataan yang mana pada naiknya pasar modal saat ini bisa ditentukan oleh kembalinya optimisme masyarakat mengenai kondisi ekonomi dan vaksin corona. Perhitungan yang ada sekarang ini pun juga sudah tidak lagi sekedar berbicara bagaimana resiko dan juga tingkat untuk keamanan aset finansial seperti yang sebelumnya ada dalam deposito namun hingga saat ini sudah mengarah pada imbal hasil.
Sayangnya jika ada masyarakat yang baru akan menentukan langkah mereka untuk terjun ke pasar modal pada bulan Desember 2020 ini, menurutnya sudah relatif terlambat. Ia bilang waktu yang tepat untuk terjun sudah berlalu yaitu ketika pasar saham indonesia mengalami penurunan yang begitu sangat signifikan dalam periode Maret-Mei 2020 ini. Walau demikian, menurutnya siapapun bisa untuk melanjutkannya dan juga bisa untuk memulai. Hanya saja ia memberi sebuah catatan supaya diantara mereka memandang investasi saham dengan proyeksi yang berjalan selama jangka waktu yang panjang.
“Yang masalah adalah ketika mereka berpikir pasar modal untuk mendapatkan keuntungan cepat. itu tidak bisa terjadi,” ucap Eko saat dihubung oleh pihak wartawan, Jumat (18/12/2020) yang kami lansir dari Tirto.id. Menurut Eko untuk saat ini pun kita bisa saja memulai investasi di pasar modal ini sehingga juga sangat layak untuk dipertimbangkan. Ia mencontohkan aset seperti barang pada emas tidak dapat bertumbuh signifikan lantaran hanya ditentukan kelangkaan suplai-permintaan ataupun juga menanamkan investasi di bidang properti yang mengandalkan keterbatasan tanah berbanding populasi yang membuat harganya naik.