Kesulitan ekonomi membuat anak-anak miskin pun membatasi akses dan juga kesempatan untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak sampai pada pelayanan kesehatan. Hal ini juga yang dulu sempat menjadi sorotan saat warga Indonesia di paksa kerja saat era tanam paksa. Dimana para pekerja Indonesia pun dipaksa untuk bekerja pada hasil tanah mereka sendiri dan dibayar dengan harga yang tidak sepadan. Hal inilah yang menimbulkan mitos buruh malas dikalangan masyarakat Indonesia.
Buruh, terutama untuk para pekerja kerah biru, yakni merupakan salah satu pihak yang paling dirugikan oleh mitos meritokrasi ini. Kita bisa lihat bagaimana anggapan dari para buruh sebagai salah satu kelompok sosial yang begitu sangat malas selalu digaungkan di media-media tiap Hari Buruh maupun juga pada saat muncul aksi buruh besar-besaran di jalanan yang begitu memadati arus lalu lintas setempat. Para pekerja dituduh malas tapi selalu menuntut kenaikan gaji yang akan mereka dapatkan. Buruh pun juga selalu disalahkan atas rendahnya produktivitas tenaga kerja yang ada di Indonesia.
Narasi yang lain yakni konsumerisme yang ada di kalangan para buruh. Contohnya, yakni pada berita soal kaum buruh yang mana mereka mengendarai motor sport ketika melakukan demonstrasi, atau buruh yang meminta kenaikan upah untuk mereka bisa membeli parfum dan liburan ke Bali. Belum lagi pemberitaan yang hanya menyoroti kerusakan, kerusuhan, atau tumpukan sampah yang tersisa usai melakukan demonstrasi, tanpa memberikan konteks yang begitu utuh dari tuntutan para buruh ini. Pemberitaan bernada sinis ini pun juga turut memberi andil pada stigma ‘malas namun banyak nuntut’ yang dilekatkan kepada kaum buruh nasional.
Mitos buruh malas yang hingga saat ini berdampak pada kaum pekerja yang kerap dianggap miskin karena malas. Untuk mengetahui bagaimana mitos malas ini dapat muncul, maka kita harus kembali ke masa kolonialisme Belanda. Dalam buku The Myth of the Lazy Native (1977) sosiolog Syed Hussein Alatas menjelaskan bahwasanya jelang abad ke-19 khususnya sesudah Van Den Bosch telah memberlakukan bagaimana sistem tanam paksa pada tahun 1830 silam, perdebatan soal masyarakat Jawa–yang dalam buku ini menjadi contoh warga pribumi antara golongan liberal dan konservatif Belanda semakin memanas hingga saat ini.
Pemberlakuan terhadap sistem tanam paksa ini juga nantinya akan membutuhkan justifikasi moral alhasil kemudian orang pribumi dicitrakan dipandang sebagai orang yang malas supaya mau dipaksa untuk terus kerja. Gubernur Jenderal Van Den Bosch bahkan menilai secara intelektual bahwasanya orang pribumi dewasa setara dengan anak-anak Belanda usia 12 atau 13 tahun. Maka hal ini juga yang perlu diperhatikan bagaimana Indonesia bisa maju usai masa penjajahan Belanda.
Dalam bukunya tersebut Syed Hussein Alatas pun juga mencatat bahawasanya sanggahan Gubernur Jenderal J. Siberg terhadap Van Hogendorp yang sempat mengusulkan untuk penghapusan kerja paksa, eksploitasi hasil bumi, serta adanya sebuah penerapan perdagangan dan tenaga kerja bebas yang senafas dengan gerakan liberal di benua Eropa. Gubernur Jenderal Siberg pun juga telah memberikan enam alasan mengapa pembagian lahan dan tanam paksa tidak bisa untuk dihapuskan. Salah satu alasan tersebut yakni pribumi juga begitu sangat malas dan terlalu lambat.
Alhasil melalui sistem tanam paksa mereka juga yang nantinya bisa dipaksa bekerja dan juga bisa menghasilkan lebih banyak keuntungan untuk kalangan Belanda. Pekerja pribumi yang terjerat sistem untuk melakukan tanam paksa yang memerlukan sebuah perlawanan kecil dengan memperlambat pekerjaan mereka.Akan tetapi, para penguasa pribumi, seperti bupati dan juga para pejabat desa yang lainnya telah bekerja semaksimal untuk pemerintah kolonial, bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya atas dasar stigma yang sama halnya seperti pribumi yang pemalas.
Kelompok dari para kalangan liberal ini juga telah berhasil menghapuskan sistem tanam paksa setelah menguasai parlemen Belanda pada 1870. Pada tahun itu juga seluruh kalangan kelompok liberal pun menerbitkan Undang-Undang Pertanahan (Agrarische Wet) untuk negeri jajahan. Regulasi ini juga yang nantinya akan memberikan pemerintah kolonial kewenangan untuk menerbitkan sertifikat hak milik lahan garapan. Tanah-tanah yang tidak digarap secara langsung, termasuk juga pada tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya, tanah adat dan tanah milik bangsawan yang tidak ingin melangsungkan kerjasama dengan pihak pemerintah kolonial akan diambil alih menjadi tanah milik pemerintah kolonial Belanda.
Dede Mulyanto pun menuliskan pesan di dalam bukunya Genealogi Kapitalisme (2012), dimana ia juga mengungkapkan bahwa hanya Agrarische Wet ini mempunyai sebuah peran yang sama dengan Bill of Inclosure of Commons di Inggris (1773). Pejabat pemerintah, kepala desa, bangsawan setempat, dan kerabat-kerabatnya menjadi pihak yang hingga saat ini paling diuntungkan setelah peraturan turunan Agrarische Wet, yaitu pada Ordonansi Pembukaan Hutan, yang sebelumnya sudah disahkan. Ordonansi ini juga yang nantinya akan memberikan mereka wewenang untuk terus membuka hutan di tanah yang terlantar.