Hal ini bukanlah sebuah cerita yang mengherankan lagi. Dimana para siswa, para orang tua, dan guru, telah jungkir balik untuk mengikuti sebuah proses pembelajaran jarak jauh via online selama pandemi Covid – 19 masih berlangsung. Di daerah – daerah terluar dari pusat kekuasaan tanah air, bahkan sekalipun di dekat pusat wisata yang terkenal di Indonesia, para murid harus mencari cara dan upaya yang tidak masuk akal untuk mendapatkan sinyal internet dan media berupa laptop atau smartphone. Dengan kehadiran pandemi Corona di Indonesia, secara tidak sengaja menunjukkan bahwasanya ketimpangan Pendidikan di Indonesia ini sangatlah miris.
Kondisi inilah yang telah terjadi selama 8 bulan lamanya selang kasus pertama Corona di Indonesia terjadi hingga dengan cepat menyebar ke banyak orang. Selaku Menteri Pendidikan Indonesia, yakni Nadiem Makarim, akhirnya menerapkan untuk belajar dirumah pada akhir bulan Maret lalu, semakin menunjukkan bahwasanya ketimpangan Pendidikan di kepulauan Indonesia memang memprihatinkan. Anda bisa mendengar cerita dari Imam Aji Subagyo, ialah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah dasar di Kepulauan Riau.
Sd Negeri 004 Mantang, adalah sekolah dimana Imam bekerja dan mengajar. Sekolah induknya berada di Pulau Siolong, sementara untuk tiga sekolah cabangnya, berada di Pulau Sirai, Pulau Telang Kecil, dan juga Pulau Telang Besar. Keempatnya telah berada di sebuah Kabupaten Bintan, adalah daerah andalan pariwisata dan incaran banyak orang untuk berlibur karena tempat ini menghubungkan langsung dengan lautan. Imam memiliki posisi sebagai kepala sekolah di SD tersebut, bak memimpin empat sekolah yang berbeda dikarenakan tipa pulau memiliki kelas satu sampai kelas enam.
Dikarenakan Imam bertempat tinggal di Pulau Siolong, Imam harus rela menaik perahu selama 30 menit untuk menuju ke Pulau Sirai; 1 jam menuju ke Pulau Telang Kecil; dan 1,5 jam menuju ke Pulau Telang Besar. Di tiga pulau tersebut ini, rupanya tidak ada sinyal sama sekali. Jangankan sinyal untuk internet, sinyal untuk menelepon pun bapuk. Warga pun harus pergi ke pelabuhan jika ingin menikmati sinyal internet yang “agak lumayan”. “Hanya sekolah di Pulau Siolong saja yang ada sinyal memadai. Itu pun harus pakai provider IM3,” Ucapnya.
Akhirnya, mau tidak mau Imam harus menggelar proses pembelajaran dengan tatap muka terbatas di tiga pulau tersebut – yang sebenarnya agak mengkhawatirkan mengingat Kabupaten Bintan menjadi salah satu zona merah akan kasus virus Corona ini. Banyak siswa yang berasal dari tergolong keluarga yang miskin, dan membuat mereka tidak memiliki media smartphone. Dilansir dari sumber Tirto.id, Badan Pusat Statistik di tahun 2019, memiliki 10 ribu penduduk yang tergolong miskin, atau lebih dari 6% total penduduk yang telah ditetapkan. Di Pulau Siolong pun, rupanya terdapat SMP Negeri 25 Satu Atap Selat Limau dan kebanyakan siswanya tergolong keluarga miskin.
Ketimpangan Pendidikan Di Indonesia Yang Miris Dan Memprihatinkan
Bukan hanya di Kepulauan Riau saja, ternyata ketimpangan Pendidikan pun terjadi di Papua. Tri Ari Santi, adalah relawan informal yang mengajar di SD Inpres Samenage. Ari berusia 36 tahun dan berasal dari kepulauan Jawa, yang rela datang ke Papua demi mengajarkan Pendidikan dan memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat disana. Hingga akhirnya Tri Ari Santi mengajar di SD Inpres Samenage tersebut. Samenage, merupakan sebuah distrik yang berada di Yahukimo, berada di pegunungan tengah Papua.
Di sekitaran Kawasan Samenage tersebut memiliki medan yang sangat berat yang bisa dijangkau melalui pesawat kecil Pilatus dan membutuhkan biaya yang agak besar, yakni Rp 10 juta. Untuk mendapatkan akses pesawat kecil Pilatus pun, rupanya harus ke Wamena, atau harus berjalan kaki selama 2 – 3 hari lamanya. Setelahnya, Ari pun harus rela berjalan kaki selama dua jam agar bisa tiba di SD Inpres Samenage. Wamena merupakan Ibu Kota Jayawijaya, ialah sebuah pusat bisnis yang berada di lembah pegunungan tengah Papua.
Warga Papua dari Sembilan kampung Distrik di Samenage, hanya mampu menggunakan Bahasa daerah, yakni Bahasa Nayak dan Bahasa Nare, tidak bisa mengucapkan Bahasa nasional Indonesia. SD Inpres Samenage berinduk di sebuah kampung yang bernamakan Kampung Pona, dua sekolah cabang lainnya berada di Kampung Samenage dan di Kampung Ibelak. Di sekolah tersebut, ada kepala sekolah, dua guru honorer yang telah lulus SMA, dan juga tiga relawan pengajar. Dan siswa sebanyak 53 orang dari lima kampung yang berbeda. Ari telah berkata bahwasanya disana tidak ada sinyal sama sekali.
“Jangankan sinyal internet dan telepon, listrik pun tidak ada,” ungkapnya. “Distrik akhirnya dapat bantuan dari solar cell untuk membantu penerangan sampai akhir tahun 2018,” lanjutnya kembali. Tidak hanya ketimpangan pada akses internetnya saja, untuk informasi mengenai virus Corona saja semua serba telat. Saat pemerintahan Indonesia dan Presiden Jokowi mengumumkan kasus Corona ini di awal Maret lalu, rupanya informasi tersebut pun telat dan hanya diketahui dari radio saja. Ari pun hanya bisa berharap bahwa ketimpangan Pendidikan di Indonesia segera membaik dan seluruh masyarakat tanah air dapat memiliki edukasi yang baik pula.