Edhy prabowo yang sudah berhasil masuk bui penjara, Menteri Kelautan dan Menteri Perikanan (KP) itu pun saat ini sudah terbukti akan kasus suap menyupanya mengenai suap ekspor benih lobster dan tersandung atas sebuah kebijakannya sendiri terkait bagaimana ekspor benih lobster. Edhy terjaring oleh adanya operasi tangkap tangan KPK karena diduga juga telah menerima suap hingga sebesar Rp 4,8 M dari hasil eksportir. Sebagian uang itu diduga juga sudah berhasil menerima uang suap yang ia gunakan untuk belanja barang-barang mewah.
Bersamaan dengan istrinya yang juga sebagai salah satu anggota Komisi V DPR, yaitu adalah Dewi Rosita, di Hawaii, AS.Enam tersangka selain Edhy adalah staf khusus Edhy, Safri Muis; pengurus dari PT Aero Citra Kargo, Siswadi; staf istri Edhy, Ainul Faqih, staf khusus dari Menteri Edhy, Amiril Mukmini dan juga Andreau Pribadi Misanta; serta Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito. Kebijakan Edhy yang begitu sangat kontroversi tersebut juga akan dipertanyakan oleh banyak pihak.
Karena, dalam melakukan ekspor benih lobster adalah kegiatan yang disebut sebagai aturan ilegal di era Susi Pudjiastuti masih menjabat, karena sama saja dengan mengeksploitasi kekayaan hasil laut Indonesia dan juga mempunyai nilai jual yang cukup kecil dimana hal itu juga akan merugikan pihak nelayan. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu hingga saat ini kebijakan tersebut malah direvisi Edhy dengan menerbitkan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 mengenai persoalan Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Permen tersebut telah berhasil untuk ditetapkan oleh Edhy pada tanggal 4 Mei 2020. Revisi itu pun juga telah menjelaskan ekspor benih lobster yang dapat untuk dilakukan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak KKP. Kegiatan ekspor ini yang nantinya dikenakan kewajiban untuk bisa membayar Bea Keluar sesuai dengan ketentuan Kementerian Keuangan. Kenyataannya, dalam kebijakan ini justru menjadi bumerang untuk Edhy. Ketika itu, PT ACK sudah berhasil ditetapkan untuk menjadi satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang telah berhasil untuk disepakati dan dapat restu dari Menteri Edhy.
Sehingga, dalam sejumlah perusahaan eksportir benih lobster ini pun juga mau tidak mau akan menggunakan jasa PT ACK dengan dikenakan tarif Rp 1.800 untuk per benih. Perusahaan-perusahaan yang telah berminat kemudian mentransfer uang kepada PT ACK dengan total senilai Rp 9,8 miliar. Diduga dari uang tersebutlah, suap ekspor benih lobster untuk Edhy dkk diberikan. Nawawi menyatakan, bahwasanya atas kegiatan ekspor benih lobster itu, PT DPP diduga telah mentransfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731.573.564 Dilansir dari Kumparan.
“Selanjutnya PT DPP atas arahan EP (Edhy Prabowo) lewat sebuah Tim Uji Tuntas (Due Diligence) telah memperoleh penetapan untuk kegiatan ekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT. ACK,” jelas Nawawi yang kami kutip dari Kumparan. Berdasarkan data kepemilikan, pemegang alih PT ACK yakni Amri dan Ahmad Bahtiar. Akan tetapi diduga, Amri dan Bahtiar hanyalah nominee atau cuma dipinjam namanya untuk bisa mewakili kepentingan Menteri Edhy.
PT ACK selama ini diduga sudah berhasil untuk menerima sejumlah uang di rekening dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster di laut Indonesia. Uang tersebut pun juga kemudian ditarik dan masuk ke dalam rekening Amri dan Bahtiar dengan total mencapai hingga Rp 9,8 miliar. Edhy pun juga sempat mengunjungi Oceanic Institute (OI) di Honolulu, sebuah organisasi penelitian serta juga pengembangan untuk nirlaba yang fokus pada produksi induk udang unggul, budidaya laut, dan pengelolaan sumber daya pesisir secara berkelanjutan.
Akan tetapi di sela kunjungan kerja, Edhy diduga jga telah membelanjakan Rp 750 juta untuk bisa membeli barang-barang mewah milik pribadinya. Usai diketahui adanya transaksi tersebut, tim KPK kemudian bergerak dan juga menangkap Edhy yang baru tiba dari Hawaii di Bandara Soetta Rabu dini hari. Akan tetapi terdapat juga jeda waktu belanja sampai nanti ditangkapnya Edhy Prabowo, Nawawi pun telah memastikan bahwasanya hal tersebut masih dalam satu rangkaian yang sama.
“Terpenting itu masih dalam satu rangkaian kegiatan, seketika tidak terbatas oleh adanya waktu yang telah berlalu, kegiatan yang kami lakukan bentuk kegiatan tidak terputus, kami masih menganggap hal ini bagian daripada operasi penangkapan,” tegas dia yang kami lansir dari Kumparan. Penyelidikan dugaan suap izin ekspor lobster tersebut sampai akhirnya Edhy dan juga sejumlah pihak ditangkap pada 25 November 2020 yang lalu. Edhy diduga telah berhasil menerima uang dana hingga Rp 3,4 miliar beserta USD 100 ribu atau setara dengan Rp 1,41 miliar. Alhasil dalam total ia diduga telah menerima Rp 4,8 miliar.
Rosita Dewi sempat ditangkap juga dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (25/11) dini hari. Namun, ia tak ditetapkan sebagai tersangka dan statusnya hanya sebagai saksi di hadapan KPK. Justru staf Iis, Ainul, yang kemudian dijerat tersangka oleh pihak KPK kala itu. Ia bertugas mendampingi Iis yang merupakan sebagai seorang anggota DPR RI F-Gerindra. Deputi Penindakan KPK, Irjen Karyoto, telah menyatakan, bahwasanya Iis pun tak memenuhi unsur pidana untuk bisa ditetapkan sebagai tersangka usai ekspos yang telah dilakukan.
Akan tetapi, Nawawi juga sempat menyatakan kepada media, tak menutup kemungkinan terdapat juga sebuah tambahan tersangka dalam perkara ini. “Tidak menutup sebuah kemungkinan bahwa nanti ada pengembangan selanjutnya pada tahapan selanjutnya bisa ada pula penambahan atau tetap. Ini sudah dimaksudkan juga terkait adanya istri yang tidak terseret dan lain sebagainya,” kata Nawawi yang kami lansir dari Kumparan. Ainul pun juga diduga telah menjadi pihak yang menampung uang suap Edhy dkk. Ia telah memegang kartu ATM sebagai sarana dalam pemberian suap ekspor benih lobster untuk Edhy.