Masih tentang Omnibus Law, banyak sekali hal dan konflik yang terjadi antara pemerintahan Indonesia serta masyarakat Indonesia. Omnibus Law yang membahas mengenai Undang – Undang Cipta Kerja telah resmi diundangkan sebagai Undang – Undang berlaku Nomor 11 Tahun 2020 setelah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, ialah Joko Widodo, pada 2 November 2020 kemarin. Namun, rupanya terdapat poin Amdal UU Cipta Kerja yang di ubah oleh pemerintahan Indonesia. Undang – Undang sapu jagat ini rupanya telah mengubah sejumlah ketentuan dan aturan yang sudah ditetapkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau UU PPLH, dimana salah satunya akan berkaitan langsung dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan di tanah air, alias Amdal.
Dengan adanya perubahan yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia, rupanya UU Cipta Kerja dinilai menghilangkan kesaktian dari Amdal dan menyebabkan seluruh masyarakat Indonesia semakin kecewa atas keputusan demi keputusan yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia serta dinilai semena – mena atas perubahan tersebut. Bukan hanya itu saja, sejumlah pihak pun telah dinilai memperlemah ‘kesaktian” yang dimiliki oleh Amdal, terutama dalam hal pengawasan serta lingkungan. Lantas, perubahan poin apa saja yang dinilai merugikan atas penetapan awal Amdal? Berikut adalah ulasannya:
Amdal UU Cipta Kerja Yang Belum Diketahui
Pasal 1 angka pada 11 Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, alias UU PPLH, telah menyebutkan bahwasanya Amdal merupakan sebuah kajian yang ditetapkan mengenai dampak penting pada suatu usaha dan / atau kegiatan yang berkaitan dengan perencanaan pada lingkungan hidup serta diperlukannya bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan suatu usaha dan / atau suatu kegiatan.
Definisi tersebut rupanya sedikit diubah atas pengesahan UU Cipta Kerja, sehingga Pasal 1 angka 11 berubah menjadi: “Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup di Indonesia dari suatu usaha dan / atau suatu kegiatan yang telah direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau suatu kegiatan yang termuat dalam sebuah perizinan berusaha atau persetujuan dari pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah,”.
Definisi tersebut juga rupanya sedikit berbeda dari draf yang telah terdapat di RUU Cipta Kerja. Dimana draft tersebut telah menyebar dan beredar sebelum Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintahan Indonesia mengesahkan pada rapat paripurna 5 Oktober 2020 lalu. Dalam draf RUU, menyebutkan bahwa frasa “persetujuan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah” tertulis hanya sebatas “persetujuan pemerintahan” saja.
- Peran Terhadap Pemerhati Lingkungan
Ketentuan demi ketentuan yang telah di ubah, salah satunya adalah peran pemerhati lingkungan hidup dalam sebuah penyusunan dokumen milik Amdal. Dalam Pasal 26 Ayat (3) UU PPLH, telah diatur melalui “Dokumen Amdal disusun oleh masyarakat yang terdampak langsung, pemerhati lingkungan hidup, dan / atau yang telah terpengaruh atas segala bentuk dari kepuasan dalam proses Amdal,”. Sementara itu, rupanya pada UU Cipta Kerja, telah tertulis perubahan yang sangat merugikan dalam Pasal 26 Ayat (2) UU PPLH, menjadi: “Penyusunan dokumen Amdal akan dilakukan dengan melibatkan langsung masyarakat yang telah terkena dampak langsung terhadap sebuah rencana suatu usaha dan / atau suatu kegiatan,”.
- Keberatan dan Pelibatan Masyarakat Telah Dihapus
Pada UU Cipta Kerja, telah menghapus sebuah ketentuan dari Pasal 26 Ayat (2) atas UU PPLH yang menyebutkan bahwasanya pelibatan dari masyarakat Indonesia harus dilakukan berdasarkan sebuah prinsip pemberian atas informasi yang transparan dan lengkap disertai dan diberitahukan sebelum kegiatan telah dilaksanakan. Sayangnya Pasal 26 ayat (4) yang semula mengatur bahwa masyarakat dapat mengajukan suatu keberatan terhadap dokumen Amdal juga telah dihapuskan. Dengan begini, masyarakat Indonesia tidak bisa lagi terlibat dalam suatu urusan pemerintahan dan sudah dianggap menjadi pelanggaran hukum yang akan terkena suatu sanksi atau denda.
- Komisi Penilai Amdal
Bukan hanya itu saja, UU Cipta Kerja juga rupanya telah menghapus keberadaan dari Komisi Penilai Amdal. Semulanya, komisi ini telah diatur dalam Pasal 29, 30, dan 31 UU Lingkungan Hidup Indonesia. Dalam Pasal 29 UU Lingkungan Hidup telah disebutkan, bahwasanya Komisi Penilai Amdal dibentuk langsung oleh Menteri, gubernur, atau bupati / walikota dan memiliki tugas untuk melakukan penilaian terhadap dokumen Amdal.
Keanggotaan dari Komisi Penilai Amdal, terdiri dari unsur instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan suatu jenis bidang usaha dan / atau suatu kegiatan yang sedang diproses terhadap pengkajian, pakar yang telah terkait dengan dampak yang akan timbul dari suatu usaha dan / atau suatu kegiatan yang sedang diproses terhadap pengkajian, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena suatu dampak, serta organisasi lingkungan hidup. Berdasarkan hasil penilaian atas Amdal UU Cipta Kerja dari Komisi Penilai Amdal, Menteri, Gubernur, atau bupati / walikota telah menetapkan keputusan untuk kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup yang sesuai dengan kewenangan.