Kejadian demo yang saat ini tengah terjadi di tengah masyarakat atas alasan penolaakan Omnibus law RUU Cipta Kerja ini tentunya bisa kita lihat dari pengalaman para demonstran yang berasal dari Hong Kong dengan menggunakan etika berdemo menyampaikan aspirasi yang tepat sehingga mereka bisa berhasil untuk beraspirasi. Taktik demonstran Hongkong yang pernah dilakukan oleh pendemo bisa jadi memberikan dampak yang baik karena mereka bisa menempatkan bagaimana posisi pendemo yang benar dan tidak anarkis.
Kita bisa mempelajari terlebih dahulu bagaimana pengalaman Demonstran dari Hong Kong bisa menang ketika mereka melakukan sebuah demo yang berlangsung lama. Sehingga pada akhirnya kemenangan bisa didapatkan oleh kalangan rakyat. Awal mula terjadinya sebuah demo tentunya bukanlah karena tanpa alasan karena banyak sekali di antara para pendemo mereka menginginkan hak atau aspirasi mereka bisa didengarkan. Karena saat ini banyak sekali kebijakan yang dilakukan oleh kalangan pemerintah sehingga akan memberatkan satu pihak saja.
Di tengah pandemi seperti saat ini tentunya bukan hal yang tepat untuk membahas atau bahkan memutuskan sebuah keputusan yang memang bertolak belakang dengan hak-hak yang memang seharusnya menjadi kebutuhan untuk rakyat sendiri. Maka sejak beberapa hari yang lalu banyak sekali para pendemo yang datang ke gedung DPR untuk menuntut apa yang seharusnya memang menjadi hak rakyat.
Pelajari Bagaimana Taktik Demonstran Hongkong
Taktik yang pertama yakni para pendemo di Hongkong adalah dengan meniadakan sosok pemimpin di dalam aksi mereka ini. Taktik untuk perlawanan tanpa ada pimpinan dalam aksi demo tentunya lazim dikenal dengan istilah Leaderless resistance yakni merupakan konsep yang digagas oleh Kolonel Ulius Louis Amoss, seorang mantan perwira intelijen AS, pada saat awal 1960-an. Amoss melihat juga bagaimana konsep tanpa pimpinan tersebut bisa efektif sekali dalam mencegah penetrasi sekaligus bisa untuk menghancurkan penghancuran sel-sel komunis di negara-negara Eropa Timur di bawah kendali dari Uni Soviet.
Pada tahun 1983, seorang anggota Ku Klux Klan, Louis Beam, kembali menggunakan konsep leader resistance melalui esainya. Hal yang sama kembali dikemukakan pada 1992. menurut Beam, perlawanan tanpa pimpinan adalah teknik yang tepat untuk kaum nasionalis kulit putih untuk bisa melanjutkan bagaimana perjuangan untuk melawan pemerintah AS, kendatipun banyak sekali ketidakseimbangan kekuatan dan juga sumber daya. Lantas bagaimana cara untuk mengimplementasikan taktik leader resistance oleh para pendemo dari Hong Kong? Untuk bisa menggantikan posisi komando, mereka akan mengorganisir diri dengan memanfaatkan bagaimana teknologi yang akan menjadi sebuah taktik y7ang selanjutnya dalam demo. Dalam hal ini, konteks yang dimaksudkan yakni menggunakan pesan terenkripsi melalui sebuah aplikasi daring maupun aktif di dalam beberapa forum online, terutamana di LIHKG- semacam Reddit Versi Hong Kong.
Sementara otu juga ketika aksi sedang berlangsung panas saat di lapangan, para demonstran yang ada di garis terdepan lazim dalam menggunakan sebuah taktik yang menggunakan bahasa isyarat untuk bisa melakukan sebuah komunikasi pada hal-hal tertentu. Misalnya untuk meminta supaya beberapa peralatan yang akan dibutuhkan segera sampai ke depan. Yang nantinya rantai manusia yang terbentang panjang itu akan saling bahu membahu untuk membawakan alat ataupun barang yang dimaksud dari belakang hingga ke depan.
Taktik demonstran HongKong yang lainnya yang biasa digunakan oleh kalangan pendemo yakni menghindari bentrokan dengan aparat demi untuk mencegah bagaimana munculnya korban. Sadar atau tidaknya mempunyai peralatan berat atau menggunakan taktik pertempuran urban yang mumpuni, sehingga mereka akan mencegah bentrok dengan cara tertib dan juga disiplin mungkin. Para demonstran ini juga berada di garis terdepan yang mana mereka akan memberikan aba-aba “ satu-dua” sebelum kemudian akan diikuti oleh garis yang berikutnya di belakang mereka.
Taktik yang selanjutnya adalah membuat sebuah tim khusus untuk membantu dalam menetralisirkan atau memadamkan gas air mata. Tim ini biasanya hanya akan terdiri dari lima-enam orang dan menempati posisi sedikit di belakang garis yang terdepan. Pada saat gas air mata akan dilemparkan oleh polisi maka mereka pun akan segera menutupnya dengan menggunakan peralatan yang khusus, yakni Traffic Cone, supaya persebaran asapnya bisa dibatasi oleh kita, kemudian memadamkannya dengan anda menuangkan air ke dalam cerobong asap tersebut.
Taktik terakhir yang bisa digunakan yakni para demonstran adalah dengan mengadakan penggalangan dana dengan tujuan mereka bisa beriklan hingga satu halaman penuh di berbagai surat kabar yang terkemuka di dunia. Momentum yang mereka incar adalah KTT G-20 yang akan digelar di Osaka, Jepang, pada akhir Juni 2019 lalu. Crowdfunding tersebut pun bisa berhasil dengan spektakuler. Kemudian para relawan khusus pada bagian desain grafis akan membuat beberapa poster yang menarik kemudian mengirimnya melalui sebuah surat elektronik ke berbagai surat kabar.