Komisi Pemberantasan Korupsi menilai belum ada kesamaan visi antar aparat penegak hukum dalam memandang kasus korupsi. Hal ini juga bisa menyebabkan maraknya pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). KPK pun mencatat sedikitnya ada 20 terpidana korupsi yang mendapat pemotongan hukuman setelah melakukan permohonan peninjauan kembali (PK) yang dikabulkan MA. “Bagi KPK ini cerminan belum adanya sebuah komitmen dan visi yang sama antar aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah sebuah tindakan kejahatan luar biasa,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Kamis (1/10/2020). Ia menegaskan, meskipun PK merupakan hak untuk terpidana kasus dalam korupsi, masyarakat akan tetap menilai setiap putusan PK tersebut. “Pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan majelis hakim tersebut ataupun kepada kepercayaan MA secara kelembagaan,” ujar Ali.
Dalam putusan yang terbaru, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan mengurangi hukumannya dari 14 tahun penjara pada tingkat kasasi menjadi 8 tahun penjara. Anas yang juga merupakan terpidana dalam sebuah kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang 2010-2012. Pada pengadilan tingkat pertama, Anas akan divonis hukuman 8 tahun penjara sebelum dikurangi menjadi 7 tahun penjara saat mengajukan banding. Hukuman Anas tersebut kembali diperberat di tingkat kasasi yang menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara bagi Anas. Putusan PK Anas tersebut memperpanjang daftar terpidana korupsi yang hukumannya akan dipotong oleh MA.
Diskon Hukuman Kasus Korupsi Jangan Sampai Muncul Anekdot “Siapa Hakimnya”
Nasib pemberantasan korupsi di Indonesia kian suram. Bukan hanya soal jumlah perkara rasuah yang ditangani yang turun. Di tingkat penyidikan pun, tidak sedikit koruptor yang justru dihukum ringan. Bahkan, meski telah dijatuhi vonis hingga tingkat kasasi, pada saat Peninjauan Kembali (PK) hukuman para koruptor itu justru disunat. Pada Rabu (30/9/2020), Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dengan dikabulkannya permohonan PK itu, masa hukuman Anas berkurang dari 14 tahun penjara pada tingkat kasasi, menjadi hanya delapan tahun penjara. “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Anas Urbaningrum tersebut dengan pidana penjara selama delapan tahun, ditambah dengan pidana denda sebanyak Rp 300 juta dengan ketentuan yang ada apabila data tersebut tidak dibayar diganti dengan kurungan selama tiga bulan,” demikian bunyi putusan majelis hakim PK.
Akan tetapi, meski dipotong, majelis hakim PK tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok. Selain itu, Anas juga tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 57, 59 miliar dan 5.261.070 dollar AS. Sebelum Anas, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang terjerat dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik, Irman dan Sugiharto, juga disunat hukumannya setelah mengajukan PK. Irman adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang hukumannya akan dikurangi tiga tahun. Pada tingkat kasasi, ia dijatuhi vonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan, ditambah kewajiban membayar uang pengganti 500 ribu dolar AS dan Rp 1 miliar dikurangi uang yang sudah dikembalikan ke KPK sebesar 300 ribu dollar AS subsider 5 tahun penjara.
Di tingkat PK, hukumannya dipotong menjadi 12 tahun penjara serta pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan 8 bulan. Selain itu, Irman juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 500 ribu dollar AS dan Rp 1 miliar subsider 2 tahun. Adapun Sugiharto adalah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri. Di tingkat kasasi, ia dijatuhi vonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti 450 ribu dollar AS ditambah Rp 460 juta dikompensasi dengan uang yang sudah dikembalikan ke KPK sebesar 430 ribu dollar AS, ditambah 1 unit Honda Jazz sebesar Rp 150 juta.
Akan tetapi di tingkat PK, hukumannya dikurangi menjadi 10 tahun penjara, serta pidana denda Rp 500 juta subsider pidana kurungan 8 bulan. Selain itu, terpidana juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 450 ribu dollar AS dan Rp 460 juta subsider 2 tahun penjara. Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Ali Fikri mengungkapkan, hingga kini ada 22 perkara korupsi yang dikurangi masa hukumannya di tingkat PK. Akan tetapi, KPK belum menerima salinan putusan tersebut untuk mempelajari pertimbangan majelis hakim. “Kami berharap MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut agar kami dapat pelajari lebih lanjut pa yang menjadi pertimbangan,” kata Ali di Jakarta. Ia menambahkan, saat ini terdapat kurang lebih ada 38 perkara korupsi yang akan ditangani KPK yang sedang diajukan PK-nya oleh para terpidana korupsi.
Ia berharap, jangan sampai PK justru akan menjadi modus baru untuk para koruptor sehingga bisa mengurangi hukuman. Ia menegaskan juga bahwa korupsi adalah jenis kejahatan luar biasa, sehingga para pelaku seharusnya bisa diberikan hukuman yang juga membuat jera. “Oleh karenanya salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan adanya efek jera kepada hukuman para koruptor sehingga calon pelaku lain tidak akan melakukan hal yang sama,” kata Ali. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menuturkan, KPK menghargai independensi kehakiman dalam memutus suatu permohonan. Akan tetapi setidaknya, MA perlu menyertakan argumen yang jelas dan jawaban di dalam setiap putusannya.