Aturan Pemerintah yang baru saja terjadi saat ini tentunya dapat menjadi perdebatan yang panjang hingga saat. DPR dan pemerintah juga sudah bekerja sama untuk menentukan keputusan dimana semua pekerja pekerja dapat bekerja dengan sistem yang belum jelas. Saat ini peluang kerja untuk dapat menjadi seorang pekerja yang sejahterah sama sekali tidak akan ada solusinya dan bagaimana harapan kita pun hingga saat ini belum dapat direalisasikan dengan baik. Omnibus Law Cipta Kerja ini juga akan menjadi salah satu peraturan yang banyak tidak disetujui oleh kaum pekerja. Bagaimana tidak, saat tengah pandemi seperti sekarang ini tentunya bukanlah waktu yang tepat untuk kalangan pekerja dapat salah dalam menentukan nasib kedepannya. Belum lagi hal ini menimpa untuk status pekerja
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) mengesahkan Omnibus Law pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Keputusan ini juga diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun 2020-2021. “Berdasarkan fraksi, 6 menerima, 1 menerima dengan catatan, dan 2 menolak. Mengacu pada Pasal 164, maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!” ujar Wakil Ketua DPR RI Azis dalam Rapat Paripurna, pada Senin (5/10). Pengesahan tersebut diwarnai interupsi dari Fraksi Demokrat dan juga PKS. Bahkan di pertengahan rapat, Partai Demokrat juga memutuskan untuk keluar dari ruang rapat alias walk out. Sementara itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas juga sempat mengatakan, dari sembilan fraksi, tujuh fraksi yang menyetujui RUU Cipta Kerja itu disahkan sebagai UU. Sementara dia fraksi yang menolak yaitu Fraksi Demokrat dan PKS. Kepastian akan hak-hak para pekerja akan selalu menjadi pusat perhatian, menjadi perjuangan dalam suatu proses pengambilan keputusan dalam tingkat panja,” jelasnya.
Berikut Poin-Poin Kesepakatan DPR dan Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU Cipta Kerja dapat mendorong debirokratisasi. Sehingga pelayanan pemerintahan akan jauh lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan penerapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) dan penggunaan sistem elektronik. “Yang lebih penting yaitu manfaat yang akan didapat secara langsung oleh masyarakat setelah berlakunya UU Cipta Kerja,” kata Airlangga dalam keterangannya, Senin (5/10). Dia juga melanjutkan, RUU Cipta Kerja nantinya akan mampu untuk meningkatkan perlindungan kepada pekerja. Misalnya adanya kepastian dalam pemberian pesangon terhadap para pekerja.
“Dalam pemberian pesangon, DPR dan Pemerintah menerapkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan tidak mengurangi manfaat JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JKm (Jaminan Kematian), JHT (Jaminan Hari Tua), dan JP (Jaminan Pensiun) serta tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha,” tegasnya. Selain itu, nantinya juga akan ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan dengan tidak mengurangi bagaimana manfaat JKK, JKm, JHT, dan JP juga tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha.
Dalam pengaturan jam kerja yang khusus untuk pekerjaan tertentu yang sifatnya tidak dapat melakukan jam kerja yang umum yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, akan memperhatikan trend pekerjaan yang mengarah kepada pemanfaatan digital, termasuk untuk Industri 4.0 dan ekonomi digital. Airlangga juga menyatakan, jika persyaratan PHK tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. RUU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan hak cuti haid, cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Sedangkan untuk beberapa pelaku usaha, disebut Airlangga akan menghasilkan manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam memperoleh perizinan berusaha, dengan penerapan perizinan berbasis risiko dan penerapan standar. Pemberian hak dan perlindungan pekerja/pekerja dapat dilakukan secara lebih baik memperoleh insentif dan kemudahan, baik dalam bentuk insentif fiskal ataupun kemudahan dan kepastian pelayanan dalam rangka investasi.
“Selain itu, adanya ruang kegiatan usaha yang lebih luas untuk dapat dimasuki investasi dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan Pemerintah,” kata Airlangga. Pelaku usaha juga dapat menghasilkan jaminan perlindungan hukum yang cukup kuat dengan penerapan ultimum remedium yang berkaitan oleh sanksi. Di mana pelanggaran administrasi tersebut hanya dikenakan sanksi administrasi, sedangkan pelanggaran yang juga menimbulkan akibat K3L (Keselamatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan) dikenakan sanksi pidana.
Poin-Poin Yang Oleh Ditolak Pekerja
- Pertama, RUU Cipta Kerja menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Sedangkan KSPI menilai UMK tidak perlu diberikan syarat karena nilai UMK yang ditetapkan di setiap kota/kabupaten berbeda-beda. Seharusnya, kata pekerja, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang memperoleh UMSK dilakukan di tingkat nasional.
- Kedua, pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
- Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup. Menjadi masalah serius bagi pekerja. Karena masih belum jelas nantinya siapa pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.
- Keempat, jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas jelas dinilai merugikan fisik dan waktu para pekerja.
- Kelima, penghilangan untuk hak cuti dan hak upah atas cuti. Protes ini juga disampaikan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang menyebut bagaimana usaha tidak mempunyai sebuah kewajiban untuk membayar upah pekerja perempuan yang mengambil cuti haid secara penuh.
- Keenam, terancam hilangnya jaminan pensiun dan juga kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.