Mungkin dulu pada saat masih awal pertama kali muncul di Indonesia virus ini menjadi salah satu virus yang memang dianggap mematikan. Karena saat viru ini masuk ke dalam tubuh manusia akan merusak seluruh organ paru-paru dimana hal ini bisa membuat penderitanya menjadi sesak nafas. Semakin banyak orang yang berjaga-ja sehingga beberapa bagian negara menganggap bahwasanya hal ini merupakan pandemi. Alhasil pun pemerintah menciptakan protokol kesehatan untuk ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun yang menjadi kontroversi ini adalah dari pandemi kini sindemi, apakah yang dimaksud?
Ada satu klaim yang cukup besar yang disampaikan Richard Horton, pemimpin suatu redaksi yang ada pada jurnal ilmiah The Lancet, dalam sebuah komentar yang dirilis pada 26 September 2020. Dia menyebut, bahwasanya pada virus COVID-19 bukan lagi sebuah pandemi. Lebih buruk dari itu, penyakit yang disebabkan oleh adanya virus corona SARS-CoV-2 ini sudah berubah jadi ‘sindemi’. Melalui istilah tersebut, Horton akan menunjukkan kepada publik mengenai satu tingkat keseriusan yang lebih parah dari pandemi. Dengan seperti itu, para pemangku kebijakan yang perlu mengambil langkah yang lebih serius untuk membantu menjaga kesehatan masyarakat.
“COVID-19 bukanlah pandemi. Ini adalah sindemi,” kata Horton. “Hakikat dari ancaman sindemi yang sedang kita hadapi berarti pendekatan yang jauh lebih bernuansa diperlukan jika kita ingin melindungi kesehatan komunitas yang ada di sekitar kita.” Horton menulis komentarnya tepat pada saat virus corona merenggut 1 juta nyawa manusia di seluruh dunia. Ia menyebut, bahwasanya kita telah mengambil pendekatan yang terlalu sempit untuk bisa mengontrol wabah virus corona ini. Selama ini, Horton menilai, bahwasanya semua intervensi hanya akan berfokus pada pemotongan laju penularan dari virus corona.
Horton mengatakan, bahwasanya pada penanganan ini sebenarnya didasari oleh bagaimana cara kita untuk memandang COVID-19 sebagai salah satu penyakit menular. Sejarah ilmu pengetahuan epidemiologi selama berabad-abad menunjukkan bahwa memutus rantai untuk penularan virus adalah cara yang tepat untuk membantu mengatasi wabah penyakit menular. Seorang Jurnalis mengikuti tes usap (swab test) COVID-19 gratis yang digelar Pertamina di suatu Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat (23/10). Namun, masalahnya tidak cukup semudah itu menurut Horton.
“Apa yang sudah kita pelajari sejauh ini memberitahu kita bahwa kisah COVID-19 ini tidak sesederhana itu,”menurutnya. “Agregat penyakit-penyakit yang ada di sekitar kita dengan latar belakang kesenjangan sosial dan ekonomi akan semakin memperburuk efek samping dari setiap penyakit yang berbeda.” Horton yang juga menjelaskan, bahwasanya untuk saat ini ada dua kategori penyakit yang berinteraksi dalam “populasi tertentu”. Penyakit yang pertama yakni infeksi virus corona. Selain itu, ada juga berbagai jenis penyakit yang tidak menular (PTM) yang diderita oleh kelompok sosial yang marginal di masyarakat.
Istilah sindemi yang sempat disampaikan Horton juga menuai perhatian dari seluruh media dan masyarakat awam. Sebelumnya, kita sudah dijejali berbagai macam istilah untuk wabah mulai dari endemi, epidemi, serta pandemi. Saat ini, ternyata masih ada satu level lagi yang perlu untuk kita pahami, yakni sindemi.
- Endemi: mengacu pada prevalensi penyakit pada populasi geografis yang ada di kalangan orang tertentu dan juga dalam terbatas pada mereka saja.
- Epidemi: merujuk pada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS (CDC), epidemi ini juga adalah peningkatan yang tak terduga dalam jumlah kasus penyakit di wilayah geografis tertentu. Epidemi ini adalah peningkatan pada sebuah kasus di luar garis dasar untuk wilayah geografis tersebut.
- Pandemi: merujuk WHO, pandemi merupakan penyebaran penyakit baru ke seluruh bagian dunia.
- Sindemi: arkonim dari sinergi serta juga epidemi. Istilah ini merujuk pada “konsentrasi dan interaksi yang merusak dari dua ataupun lebih penyakit atau kondisi kesehatan yang lainnya dalam suatu populasi, terutama sebagai salah satu akibat dari ketidakadilan sosial dan juga penggunaan kekuasaan yang dirasa tidak adil.”
Istilah sindemi yang digunakan di atas disampaikan pula oleh Merrill Singer, seorang antropologi medis asal AS, dalam sebuah buku ciptaannya yang berjudul Introduction to Syndemics (2009). Melihat COVID-19 sebagai sindemi: penyakit dan kesenjangan sosial.
Faktanya, Singer sendiri yakni merupakan orang yang telah menciptakan istilah sindemi sejak tahun 1990-an. Dalam sebuah tulisan di jurnal The Lancet pada 2017, Singer menyampaikan sebuah pendapat bahwa penanganan sindemi mengungkap interaksi biologis dan sosial yang penting untuk prognosis, pengobatan, hingga pada kebijakan kesehatan.
Seorang laki-laki yang sedang tidur siang di trotoar di pusat kota Jakarta. Nah, kembali ke Horton, kita mestinya tidak membatasi kepada masyarakat mengenai bagaimana bahaya yang disebabkan oleh virus corona hanya sebatas pada penyakitnya saja. Pandemi corona justru “menuntut perhatian yang jauh lebih besar pada penyakit tak menular dan ketidaksetaraan sosial ekonomi dibandingkan dengan yang selama ini telah diakui,” kata Horton. Sindemi sendiri pada dasarnya bukan hanya soal penyakit penyerta atau komorbid. Horton Mengungkapkan juga, bahwasanya sindemi dicirikan oleh interaksi yang ada dalam keadaan biologis dan sosial, di mana interaksi yang terjadi oleh keduanya bisa meningkatkan kerentanan seseorang terhadap bahaya atau memperburuk hasil kesehatannya.
Dari Pandemi kini sindemi, virus corona memang sudah diprediksi bukan hanya sebuah persoalan penyakit COVID-19 belaka. Penyakit itu juga akan memperburuk suatu kondisi kelompok marginal dan rentan. Seperti yang dilaporkan BBC, pada awal tahun ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengungkapkan bahwa pada dampak pandemi COVID-19 akan “dialami secara tidak proporsional pada kelompok masyarakat paling rentan: orang yang hidup dalam kemiskinan, pekerja miskin, perempuan hingga anak-anak dibawah umur, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal lainnya”.
Menurut Horton, beranggapan bahwasanya untuk virus COVID-19 sebagai sindemi yang akan memungkinkan sebuah negara bisa bangkit dari keterpurukan. Sebab, tak cuma mengatasi penyakit, pendekatan untuk bisa segera menyelesaikan sebuah sindemi memerlukan cara pandang melihat masalah yang lebih utuh dan holistik. “Masyarakat kita membutuhkan harapan. Krisis ekonomi yang saat ini sedang melanda kita tidak akan bisa untuk diselesaikan dengan obat atau vaksin,” menurut dia. “Pendekatan COVID-19 sebagai sindemi akan mengundang visi yang lebih besar dan bukan hanya dalam masalah kesehatan saja melainkan juga akan mencakup pendidikan, pekerjaan, perumahan, pangan, dan lingkungan.”