Pada saat itu negerinya, Belanda, tengah diduduki NAZI Jerman dan semua aparatur negara pun juga mengungsi ke London. Belanda pada kala itu telah mendirikan pemerintahan pelarian pada kota tersebut. Di pidato tersebut, sang ratu juga telah memuji rakyat tanah jajahan yang ada di Hindia (ia bahkan juga telah menyebutnya ‘Indonesia’) atas perannya dalam mempertahankan diri dari serbuan negara Jepang kala itu. Ia pun juga melontarkan janji manis berupa bentuk pemerintahan baru untuk seluruh negeri-negeri jajahan setelah Perang Dunia II berakhir termasuk janji Indonesia merdeka.
Tiga tahun setelahnya PD II benar-benar sudah berakhir dalam situasi politik global yang sebelumnya telah sangat berubah. Hanya dalam jangka waktu beberapa minggu setelah PD II berakhir, kegelisahan yang ada pascaperang segera mencuat di negara Belanda. Muncul juga sebuah kekhawatiran yang luar biasa tentang bagaimana cara untuk bisa mengatasi perekonomian yang porak poranda akibat terjadinya perang. Kegelisahan dari kalangan orang-orang Belanda kian bertambah karena menyaksikan realitas bahwa dekolonisasi besar-besaran tengah terjadi di mana-mana.
Hindia Belanda, tanah jajahan kesayangan, juga sedang disamun dalam sebuah arus dekolonisasi itu dan juga untuk membantu memerdekakan diri alhasil ini pun bisa menjadi Republik Indonesia. Pada saat itu juga telah timbul pendapat umum dalam kalangan masyarakat Belanda yang menerangkan bahwa Republik Indonesia bikinan Sukarno yang selalu mereka tuduh sebagai “kolaborator Jepang” tidak lebih dari sekadar pemerintahan yang semrawut, tidak becus dalam mengurus dirinya sendiri, dan gagap dalam memelihara perdamaian.
Oleh sebab itulah negara Belanda merasa perlu turun tangan untuk melakukan tugas suci kolonial yang telah mereka emban selama ratusan tahun dalam membantu untuk memberantas segala ketidakberesan dan menegakkan rust en orde (ketentraman dan ketertiban) di dalam negeri bekas jajahan yang paling menguntungkan tersebut, jika diperlukan maka kita juga perlu dengan mengangkat senjata. Cara pandang itu sekilas terlihat sebagai itikad yang kelihatannya hal baik.
Namun pada saat semangat kemerdekaan bergema di mana-mana, ia terasa ketinggalan zaman dan mengandung banyak paradoks Apakah memberantas ketidakteraturan dan menegakkan perdamaian mesti dengan kekerasan? Apakah Belanda merupakan satu-satunya pihak negara yang sudah memahami kehendak seluruh rakyat Indonesia? Atau mengapa Belanda, negara yang pernah mengalami kegetiran pendudukan NAZI, juga perlu untuk bisa melakukan tindakan yang serupa dengan negara Jerman terhadap para rakyat Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan macam itu juga hingga saat ini banyak dilontarkan oleh kalangan oposisi, yang utamanya pada golongan kiri, di negara Belanda sendiri kita perlu waktu yang tepat dalam menyikapi situasi terkini antara Indonesia dan juga untuk bekas penjajahnya.
Pandangan ini sebenarnya menjadi salah satu minoritas dalam pendapat umum di negara Belanda. Pemerintahan yang telah berkuasa saat itu merupakan sebuah koalisi Partai Katolik dan Partai Demokrat, dua partai yang sebenarnya sempat berpandangan dengan moderat dalam menyikapi gerakan Indonesia merdeka. Koalisi ini terdesak pandangan dari kaum konservatif, yang juga nantinya bisa menjadi pendapat umum dari kalangan masyarakat, dan akhirnya juga akan memaksa kepada mereka dalam mengambil tindakan tegas dan segera terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Paradoks di atas barangkali salah satu ironi terbesar dalam sebuah sejarah yang menjadi hubungan antara Belanda-Indonesia dalam kurun waktu hingga 1945-1949, bahkan mungkin sepanjang sejarah kolonialisme Belanda yang ada di Indonesia. Sebuah ironi yang, disadari atau pun juga tidak, sudah mulai masuk untuk membentuk semacam “etik” kolonialisme selalu menempatkan Belanda sebagai Tuan Eropa yang pemurah dan juga mereka punya misi yang sama dalam membawa kaum pribumi kepada alam yang lebih beradab pada suatu mission civilisatrice.
“Indisch verloren, rampspoed geboren” Ada semacam kepercayaan dalam benak kebanyakan orang Belanda bahwa kehilangan tanah Hindia merupakan sebuah bencana yang tidak tertanggungkan. Ini merupakan salah satu hal yang tergambar dengan sangat jelas dalam ungkapan populer yang digunakan lagi oleh pers Belanda pada awal dasawarsa 1940-an: “Indisch verloren, rampspoed geboren” (Hindia hilang, kesengsaraan datang). Ungkapan ini juga sudah berasal dari zaman Perang Dunia I yang mana telah disebarkan Onze Vloot (Armada Kita), kelompok pencinta maritim dari negara Belanda dari para pelaut sipil dan juga para anggota angkatan laut.
Mereka yang merupakan salah satu kelompok nasionalis yang berhaluan konservatif. Pada saat melakukan kegiatan kampanye tentang bagaimana pembentukan milisi Hindia yang populer dengan nama Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia) mulai mengemuka ketika sudah terjadi Perang Dunia I meletus, kelompok itu adalah salah satu pendukung utamanya. Mereka pun juga merasa sangat was-was dengan kemungkinan terburuk Perang Dunia I yang bisa menjadi penyebab Hindia lepas.
Sekalipun untuk seluruh kalangan dari para politikus itu terlihat progresif dalam melihat hubungan Belanda-Indonesia, mereka pun juga akan tetap mengikuti jalan pikiran lama: Hindia tidak dapat untuk dibiarkan menjadi seratus persen merdeka. Sesungguhnya, mereka sendiri juga sebelumnya sudah menghadapi dilema. H.J. van Mook dapat untuk dijadikan sebagai representasi paling menonjol dari ambivalensi itu. Van Mook, orang yang sebenarnya dipenuhi dengan ide-ide progresif tentang masa depan Hindia Belanda sedari muda, yang perlu juga untuk menerima realitas politik yang berkembang ketika itu.